Selasa, 24 Juli 2018

Mengenang Seulawah (Dakota DC3 RI-001) Pesawat Angkut Pertama di Era Kemerdekaan Republik Indonesia

Setelah Proklamasi tahun 1945, sebuah Negara yang baru saja lahir dari rahim Ibu pertiwi bernama Indonesia terus berjuang mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan melalui tetesan keringat dan darah para pahlawan, tak hanya keringat dan darah, rakyat Indonesia dengan segenap kekuatan mengorbankan harta benda yang mereka miliki demi tercapainya cita-cita Kemerdekaan. Rakyat Aceh yang merupakan bagian dari bangsa besar ini menyumbangkan sebuah Pesawat angkut pertama jenis Dacota DC3 yang kemudian diberi nama Seulawah (Dacota RI-001).
Sejarah Pesawat Seulawah.
Seulawah adalah Pesawat angkut pertama Indonesia yang sangat berjasa dalam mewujudkan kemerdekaan negeri ini. Bukti kecintaan dan sikap patriotisme rakyat Aceh terhadap republik.
Pesawat Dacota DC-3 ini diberi nama Seulawah yang artinya Gunung Emas, nama tersebut merujuk pada sebuah gunung api besar di Aceh. Pesawat Seulawah menjadi cikal bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama nusantara, Indonesian Airways yang kemudian menjadi Garuda Indonesia.
Pesawat ini dibeli dari sumbangan rakyat Aceh atas permintaan Presiden Soekarno saat datang ke Aceh secara khusus pertengahan Juni 1948. Saat itu Soekarno bertemu dengan Gubernur Militer Aceh Daud Beureuh di Hotel Aceh samping masjid Baiturrahman, Banda Aceh, Presiden RI pertama tersebut meminta bantuan secara langsung ke Gubernur Militer Aceh tersebut dalam rangka pembelian pesawat. Tujuan pembelian pesawat tersebut dalam rangka untuk memperkuat pertahanan Negara dan menghubungkan antar pulau dan juga sebagai penembus blockade Belanda yang mulai kembali menguasai bumi Nusantara melalui agresi militer ke II Belanda. Bahkan pusat pemerintahan Indonesia saat itu yang berada di Yogyakarta mulai dikuasai oleh Belanda.
 “Saya tidak akan makan malam ini, kalau dana untuk itu tidak terkumpul,” kata Soekarno dalam pertemuan diselenggerakan Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) itu.
Ketua GASIDA, Muhammad Djuned Yusus yang hadir dalam forum, langsung menyanggupinya. Bersama Said Muhammad Daud Alhabsyi, ia memimpin Dakota Found, panitia penggalangan dana. Para saudagar menyumbangkan uang dan emas. Sementara rakyat biasa ikut mengumpulkan hasil pertanian dan peternakannya untuk disumbang ke panitia. Alhasil dalam dua hari terkumpul dana setara 20 kilogram emas atau 130 ribu dolar Singapura.
Versi lain menyebutkan, saat itu Daud Beureueh yang iba dengan Soekarno langsung memerintahkan langsung Abu Mansor, sekretarisnya untuk mengumpulkan sumbangan.
Menurut Pemerhati Sejarah Aceh, Abdurrahman Kaoy, saat itu Abu Mansor datang ke Pasar Atjeh memungut sumbangan dari warga yang berada di pasar tradisional samping Masjid Baiturrahman itu. “Mereka dengan ikhlas memberikan perhiasan, emas, dan segala barang berharganya untuk disumbangkan,” ujarnya.
Sebelum kembali ke Pulau Jawa membawa sumbangan rakyat Aceh, dalam pertemuan akbar dengan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang, Soekarno berorasi mengajak rakyat Aceh membantu perjuangannya.
“Aku meminta kepadamu hai pemuda-pemuda, pemudi-pemudi, ulama-ulama, saudara-saudara, anak-anakku dari angkatan perang, segenap pegawai, segenap rakyat jelata yang berkumpul di sini, di seluruh daerah Aceh, marilah kita terus berjuang,” katanya.
Dalam kunjungannya ke Aceh, Soekarno juga berpesan khusus kepada Daud Beureueh yang ia panggil Kakak, agar mengajak rakyat Aceh membantu perjuangan mengusir Belanda yang masih bercokol di berbagai daerah di nusantara.
“Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda, untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
“Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid,” jawab Daud Beureueh.
“Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid,” timpal Soekarno.
Sekembali ke Pulau Jawa, sumbangan terkumpul dari Aceh dipakai untuk membeli pesawat jenis Dakota DC-3 melalui Singapura pada Oktober 1948, oleh perwira penerbangan Wiweko Soepono yang akhirnya menjadi Direktur Utama garuda. Diberi registrasi RI-001 Seulawah, inilah pesawat angkut pertama milik Indonesia dan cikal bakal berdirinya Indonesian Airways yang saat itu berkantor di Burma (Myanmar), karena sebagian besar wilayah nusantara masih dikuasai Belanda.
Awal mulanya Seulawah beroperasi sebagai penghubung Jawa dan Sumatera, mengangkut berbagai kebutuhan obat-obatan dari Burma dan India dengan menembus blokade-blokade Belanda. Pesawat terbang ini juga berperan dalam penyelundupan senjata berikut amunisi dan perangkat komunikasi dari Burma ke Aceh sebagai logistik perang melawan Belanda. Melalui perangkat Radio hasil selundupan inilah yang mampu mengabarkan ke Dunia luar bahwa “Indonesia masih ada”.
Penerbangan pesawat Seulawah saat itu biasa beroperasi pada malam hari, hal ini dilakukan agar tidak terdeteksi musuh (belanda-red). Pesawat mendarat di Lapangan Udara Lok Nga atau sekarang menjadi Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Biasanya setelah mendapat kabar pesawat Seulawah akan mendarat, para pemuda Aceh membakar daun kelapa kering sebagai tanda bahwa lokasi siap didarati pesawat. Siang harinya badan pesawat ditutupi dengan daun dan rerumputan agar tak terlihat oleh pasukan Belanda.
Pesawat yang merupakan hasil dari sumbangan barang-barang pribadi rakyat Aceh ini selain digunakan sebagai transportasi Soekarno dalam lawatannya ke berbagai daerah di Sumatera dan Jawa untuk mendapat dukungan kemerdekaan RI ke segenap penjuru tanah air, juga digunakan sebagai kendaraan kenegaraan Soekarno dalam menjalin diplomasi demi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ke berbagai Negara. Beberapa tokoh Bangsa saat itu pernah diangkut oleh pesawat ini saat menjalin hubungan internasional dalam memperoleh dukungan kemerdekaan dari Internasional.
Saat memanasnya Agresi militer Belanda saat itu RI-001 Seulawah sempat dilarang kembali ke Indonesia dan tertahan di Burma, namun akhirnya tahun 1949 Dacota DC-3 Seulawah Pemerintah Myanmar menyewa pesawat ini sebagai pesawat angkut Negara tersebut yang sedang mengalami gejolak pemberontakan di dalam negerinya. Selain sebagai pesawat pengangkut, di Myanmar Seulawah juga ikut dipakai dalam misi operasi militer.
Mengingat besarnya jasa pengorbanan rakyat Aceh yang telah menyumbangkan harta mereka dalam pembelian pesawat Dacota DC3 Seulawah RI-001 tersebut, dibangun sebuah replica Dakota-RI-001 Seulawah di Lapangan Blang Padang yang kemudian diresmikan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara pada 29 Juli 1984 yang saat itu dijabat oleh Marsekal Sukardi dan Gubernur Aceh saat itu Hadi Tajeb. Ini merupakan monumen replika pesawat RI pertama sedangkan pesawat aslinya tersimpan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.
Monumen RI-001 Seulawah kini menjadi salah satu situs wisata sejarah di Banda Aceh. Bukti cinta rakyat Aceh kepada Ibu Pertiwi yang tetap kokoh berdiri walau sempat diterjang tsunami 26 Desember 2004. (bandaacehtourism/wikipedia/Gloopic/KI)
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar